Penulis: Novellina A.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 310 halaman
ISBN: 978-602-030-355-0
Rating: ★★★★★
---
Kisah dimulai dari keinginan Awang untuk mengenal Armitha
melalui Davina. Bagi Awang, akan
lebih mudah mengenal sosok perempuan judes itu dari sahabatnya. Maka,
dimulailah perkenalan seorang cowok SMA yang cukup populer itu dengan dua siswi
SMA yang tergolong tidak istimewa, bahkan biasa saja.
“Aku hanya mengetahui perasaanku dan berusaha jujur pada diriku sendiri. Tak perlu menggali lebih dalam akar dimana perasaan itu tumbuh.” (hal. 48)
Perkenalan itu malah membuat Davina dengan Awang lebih dekat
daripada tujuan awal keduanya. Lambat laun, ada perasaan berbeda dari Davina,
terlebih ketika ia mendengar lantunan komposisi yang Awang mainkan di
perpustakaan menggunakan piano yang kabarnya sudah ada sejak zaman Belanda itu.
Davina merasa jatuh hati ketika Awang sedang bermain piano saja. Namun, suatu kejadian pada akhirnya membuat mereka bisa
saling jatuh hati dan kemudian berpacaran. Di sisi lain, Armitha yang awalnya
sasaran kenalan Awang malah setuju saja
dan mendukung hubungan antara Davina dan Awang itu, walau di lain hatinya ia
merasa cemburu juga.
“Because by playing piano along with his pupils, he wanted to recall himself how to enjoy music purely.” (hal. 83)
Tidak hanya itu, persahabatan mereka kemudian diwarnai
dengan kisah bahwa Armitha mulai tertarik untuk bermain piano. Walaupun ia
adalah anak dari seorang musisi, tapi kecintaannya terhadap bermusik tidak
serta merta membuatnya berlatih serius. Dan karena Awang-lah yang menjadi
motivasi Armitha untuk bermain, berlatih, dan menunjukkan permainannya dalam sebuah
kompetisi suatu saat nanti.
“Kamu akan lebih mengetahui bagaimana perbedaannya mendengar musik dengan hati atau hanya sekadar dengan telingamu. Telinga hanyalah penerima, namun organ yang sesungguhnya bekerja adalah otak dan tentu hatimu.” (hal. 84)
Armitha dan Awang punya mimpi yang sama, sama-sama ingin
melanjutkan kuliah musik di Prancis. Namun, nasib nampaknya jauh lebih berpihak
pada Awang karena sebelum lulus SMA pun, ia sudah ditawari beasiswa melanjutkan
studinya di Tokyo.
“... Bagiku, sebuah mimpi bukanlah sesuatu yang tidak penting. Mimpi adalah inti dari kehidupan manusia. Aku memulai hidupku dari sebuah mimpi.” (hal. 171)
“Ketika seseorang memiliki banyak mimpi namun terlalu lama berada di comfort zone, harus ada seseorang yang membantu untuk menariknya keluar bukan?” (hal. 271)
Harapan itu pada akhirnya membuat Awang harus rela
meninggalkan kedua sahabatnya, Davina dan Armitha. Begitupun dengan kisah cinta
yang dijalani bersama Davina, Vina merasa ia tidak sanggup jika harus LDR.
“... Seperti itulah cinta. Kepercayaan total meskipun dia tidak pernah tahu apakah bisa bersamamu lagi. Pengorbanan bukan hanya tentang tindakanmu tapi juga perasaanmu. Saat kamu memutuskan pergi maka yang harus kamu lakukan hanyalah pergi selamanya.” (hal. 281)
Ya, tidak ada yang bisa mengalahkan kebahagiaan saat mengetahui orang yang kita cintai memberikan cinta sama besarnya dengan yang kita beri. (hal. 309)
Tujuh tahun kemudian, keberanian itu muncul lagi. Davina
memberanikan dirinya untuk berangkat ke Tokyo dan menemui Awang, bertemu dengannya
dan menceritakan mimpi Armitha yang sempat terhenti akibat satu kecelakaan yang
hampir saja membuat Armitha tidak ingin lagi bermain musik, bahkan untuk
menyentuh piano sekalipun.
Mungkin, jalan terbaik untuk tidak merasakan kesedihan adalah dengan tidak memikirkannya, menjauh dari kenangan, bahkan jika perlu meninggalkan semuanya untuk memulai hidup baru. (hal. 121)
Demi memenuhi keinginan dari mantan kekasihnya itu, maka
Awang menyanggupinya walau ia tahu jalan yang harus ia tempuh memang tidaklah
mudah. Sejak saat itulah, perasaan hatinya dikorbankan. Dari Surabaya, Tokyo, Singapura,
Paris, Berlin, Salzburg, hingga Wina, mereka bertiga berlari menyambut mimpi,
mencoba membuktikan bahwa mimpi tidak terlalu jauh untuk digapai selama mereka
selalu melangkah untuk meraihnya. Baca
kisah selengkapnya dalam Fantasy.
“Suatu hari aku akan bertemu dengannya lagi, entah hanya untuk mengucapkan selamat tinggal lagi atau bersama kembali. Hari itu akan datang. Hari di mana kita akan menjalin takdir kita dengan takdirnya lagi. Love doesn’t conquer all, faith does.” (hal. 127)
***
Aku percaya hati manusia bukanlah air susu yang akan mudah menghitam karena setetes tinta. Akan ada kemungkinan, walaupun sesaat, di dalam hati manusia, ruang singkat untuk kembali merindukan seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya tidak peduli betapa pekatnya kebencian yang ia miliki. (hal. 216)
Seingatku, ini adalah Metropop pertama yang aku baca
terbitan GPU. Seingatku juga, lini Metropop memang masih baru, atau mungkin aku
yang terlalu telat pergaulan. Sejauh ini, karena memang baru membaca satu buku
dari lini Metropop, maka bukan nggak mungkin kalau aku bilang buku ini keren.
Bagiku mencintai seseorang adalah memilikinya, berada di dekatnya, bukan melepaskannya hanya karena tidak ingin menjadi beban bagi orang itu. There is no burden in love, because love is always selfish. (hal. 126)
Cerita tentang bagaimana si tokoh berusaha menggapai
mimpinya memang sudah banyak beredar di pasaran, tapi cerita tentang perjuangan
yang kemudian dikaitkan dengan cerita musik klasik bahkan sampai ke negara
asalnya—seperti Wina, Salzburg, Paris, dll—menurutku masih jarang ditemui.
Tidak ada yang lebih menyedihkan selain saat seseorang kehilangan harapan. Ketika seseorang bahkan tidak sanggup memimpikan sesuatu. Ketika tidak ada keyakinan dalam dirinya sendiri bahwa akan ada hari esok, yang jauh lebih baik daripada hari ini. (hal. 133)
Aku suka latar yang ditulis Kak Novellina, dimulai dari
cerita SMA sekitar tahun 2005 yang menjelaskan bagaimana ‘kisah dahulu’ dari
ketiga sahabat ini, sampai perjalanan mereka yang membawa kita di ‘masa
sekarang’, tahun 2012 dan 2013. Walaupun masa SMA-nya bisa dibilang terlalu
cepat, tapi menurutku sudah cukup baik untuk menunjukkan bagaimana
permulaannya.
Aku sudah bilang belum kalau novel ini ditulis dari segi POV
1 dari 2 tokoh? Yap, perpindahan POV dari Davina ke Armitha juga menurutku
cukup sukses dengan jelasnya karakter ‘aku’ yang dimainkan disini—selain karena
di bab awal ditunjukkan siapa yang menjadi giliran ‘aku’. Sayangnya, kita nggak
menemukan POV dari sudut pandang Awang, padahal kalau digali lebih lanjut lagi,
mungkin kita juga bakal tahu bagaimana rasanya diperebutkan dua orang perempuan
sekaligus, hehe.
Perjalanan mereka yang dimulai dari satu kota ke kota lain
yang berbeda negara juga menarik, seolah-olah kita benar-benar dibawa secara
langsung ke kota-kota lahirnya para musisi besar dunia tersebut. Eksekusi yang
lagi-lagi berhasil. Hm, someday I’ll be
there and know hot it feel to be Davina, Armitha, and Awang. Good luck for me,
xoxo.
“You are my Fantasy in D minor, my ending from my search of happiness.” (hal. 308)
by.asysyifaahs(◕‿◕✿)
No comments:
Post a Comment
Review di a, Greedy Bibliophile adalah pendapat suka-suka yang sifatnya subjektif dari si empunya blog. Aku berusaha jujur, karena barang siapa jujur sesungguhnya dia masih hidup.
Aku nggak pernah memaksa kamu untuk setuju dengan pendapatku sendiri. Jangan sebel, jangan kesel, kecuali kamu mau itu menjadi beban besar yang berat ditanggung.
Boleh komentar, boleh curhat, boleh baper, tapi jangan promosi jualan obat atau agen judi bola. Tulis dengan bahasa manusia yang sopan dan mudah dimengerti ya.
Terima kasih sudah berkunjung, semoga ada cerita yang bermanfaat, jangan lupa kuenya boleh dibawa. Asal tulisan aku jangan dicomot seenak udelmu.
tertanda,
yang punya cerita