[REVIEW] Fantasy by Novellina A.

Sunday, July 13, 2014

Judul: Fantasy
Penulis: Novellina A.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 310 halaman
ISBN: 978-602-030-355-0
Rating: ★★★★★

---

Kisah dimulai dari keinginan Awang untuk mengenal Armitha melalui Davina. Bagi Awang, akan lebih mudah mengenal sosok perempuan judes itu dari sahabatnya. Maka, dimulailah perkenalan seorang cowok SMA yang cukup populer itu dengan dua siswi SMA yang tergolong tidak istimewa, bahkan biasa saja.

“Aku hanya mengetahui perasaanku dan berusaha jujur pada diriku sendiri. Tak perlu menggali lebih dalam akar dimana perasaan itu tumbuh.” (hal. 48)
Perkenalan itu malah membuat Davina dengan Awang lebih dekat daripada tujuan awal keduanya. Lambat laun, ada perasaan berbeda dari Davina, terlebih ketika ia mendengar lantunan komposisi yang Awang mainkan di perpustakaan menggunakan piano yang kabarnya sudah ada sejak zaman Belanda itu. Davina merasa jatuh hati ketika Awang sedang bermain piano saja. Namun, suatu kejadian pada akhirnya membuat mereka bisa saling jatuh hati dan kemudian berpacaran. Di sisi lain, Armitha yang awalnya sasaran kenalan Awang malah setuju saja dan mendukung hubungan antara Davina dan Awang itu, walau di lain hatinya ia merasa cemburu juga.

“Because by playing piano along with his pupils, he wanted to recall himself how to enjoy music purely.” (hal. 83)
Tidak hanya itu, persahabatan mereka kemudian diwarnai dengan kisah bahwa Armitha mulai tertarik untuk bermain piano. Walaupun ia adalah anak dari seorang musisi, tapi kecintaannya terhadap bermusik tidak serta merta membuatnya berlatih serius. Dan karena Awang-lah yang menjadi motivasi Armitha untuk bermain, berlatih, dan menunjukkan permainannya dalam sebuah kompetisi suatu saat nanti.

“Kamu akan lebih mengetahui bagaimana perbedaannya mendengar musik dengan hati atau hanya sekadar dengan telingamu. Telinga hanyalah penerima, namun organ yang sesungguhnya bekerja adalah otak dan tentu hatimu.” (hal. 84)
Armitha dan Awang punya mimpi yang sama, sama-sama ingin melanjutkan kuliah musik di Prancis. Namun, nasib nampaknya jauh lebih berpihak pada Awang karena sebelum lulus SMA pun, ia sudah ditawari beasiswa melanjutkan studinya di Tokyo.

“... Bagiku, sebuah mimpi bukanlah sesuatu yang tidak penting. Mimpi adalah inti dari kehidupan manusia. Aku memulai hidupku dari sebuah mimpi.” (hal. 171)

“Ketika seseorang memiliki banyak mimpi namun terlalu lama berada di comfort zone, harus ada seseorang yang membantu untuk menariknya keluar bukan?” (hal. 271)
Harapan itu pada akhirnya membuat Awang harus rela meninggalkan kedua sahabatnya, Davina dan Armitha. Begitupun dengan kisah cinta yang dijalani bersama Davina, Vina merasa ia tidak sanggup jika harus LDR.

“... Seperti itulah cinta. Kepercayaan total meskipun dia tidak pernah tahu apakah bisa bersamamu lagi. Pengorbanan bukan hanya tentang tindakanmu tapi juga perasaanmu. Saat kamu memutuskan pergi maka yang harus kamu lakukan hanyalah pergi selamanya.” (hal. 281)

Ya, tidak ada yang bisa mengalahkan kebahagiaan saat mengetahui orang yang kita cintai memberikan cinta sama besarnya dengan yang kita beri. (hal. 309)
Tujuh tahun kemudian, keberanian itu muncul lagi. Davina memberanikan dirinya untuk berangkat ke Tokyo dan menemui Awang, bertemu dengannya dan menceritakan mimpi Armitha yang sempat terhenti akibat satu kecelakaan yang hampir saja membuat Armitha tidak ingin lagi bermain musik, bahkan untuk menyentuh piano sekalipun.

Mungkin, jalan terbaik untuk tidak merasakan kesedihan adalah dengan tidak memikirkannya, menjauh dari kenangan, bahkan jika perlu meninggalkan semuanya untuk memulai hidup baru. (hal. 121)
Demi memenuhi keinginan dari mantan kekasihnya itu, maka Awang menyanggupinya walau ia tahu jalan yang harus ia tempuh memang tidaklah mudah. Sejak saat itulah, perasaan hatinya dikorbankan. Dari Surabaya, Tokyo, Singapura, Paris, Berlin, Salzburg, hingga Wina, mereka bertiga berlari menyambut mimpi, mencoba membuktikan bahwa mimpi tidak terlalu jauh untuk digapai selama mereka selalu melangkah untuk meraihnya. Baca kisah selengkapnya dalam Fantasy.

“Suatu hari aku akan bertemu dengannya lagi, entah hanya untuk mengucapkan selamat tinggal lagi atau bersama kembali. Hari itu akan datang. Hari di mana kita akan menjalin takdir kita dengan takdirnya lagi. Love doesn’t conquer all, faith does.” (hal. 127)
***

Aku percaya hati manusia bukanlah air susu yang akan mudah menghitam karena setetes tinta. Akan ada kemungkinan, walaupun sesaat, di dalam hati manusia, ruang singkat untuk kembali merindukan seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya tidak peduli betapa pekatnya kebencian yang ia miliki. (hal. 216)
Seingatku, ini adalah Metropop pertama yang aku baca terbitan GPU. Seingatku juga, lini Metropop memang masih baru, atau mungkin aku yang terlalu telat pergaulan. Sejauh ini, karena memang baru membaca satu buku dari lini Metropop, maka bukan nggak mungkin kalau aku bilang buku ini keren.

Bagiku mencintai seseorang adalah memilikinya, berada di dekatnya, bukan melepaskannya hanya karena tidak ingin menjadi beban bagi orang itu. There is no burden in love, because love is always selfish. (hal. 126)
Cerita tentang bagaimana si tokoh berusaha menggapai mimpinya memang sudah banyak beredar di pasaran, tapi cerita tentang perjuangan yang kemudian dikaitkan dengan cerita musik klasik bahkan sampai ke negara asalnya—seperti Wina, Salzburg, Paris, dll—menurutku masih jarang ditemui.

Tidak ada yang lebih menyedihkan selain saat seseorang kehilangan harapan. Ketika seseorang bahkan tidak sanggup memimpikan sesuatu. Ketika tidak ada keyakinan dalam dirinya sendiri bahwa akan ada hari esok, yang jauh lebih baik daripada hari ini. (hal. 133)
Aku suka latar yang ditulis Kak Novellina, dimulai dari cerita SMA sekitar tahun 2005 yang menjelaskan bagaimana ‘kisah dahulu’ dari ketiga sahabat ini, sampai perjalanan mereka yang membawa kita di ‘masa sekarang’, tahun 2012 dan 2013. Walaupun masa SMA-nya bisa dibilang terlalu cepat, tapi menurutku sudah cukup baik untuk menunjukkan bagaimana permulaannya.

Aku sudah bilang belum kalau novel ini ditulis dari segi POV 1 dari 2 tokoh? Yap, perpindahan POV dari Davina ke Armitha juga menurutku cukup sukses dengan jelasnya karakter ‘aku’ yang dimainkan disini—selain karena di bab awal ditunjukkan siapa yang menjadi giliran ‘aku’. Sayangnya, kita nggak menemukan POV dari sudut pandang Awang, padahal kalau digali lebih lanjut lagi, mungkin kita juga bakal tahu bagaimana rasanya diperebutkan dua orang perempuan sekaligus, hehe.

Perjalanan mereka yang dimulai dari satu kota ke kota lain yang berbeda negara juga menarik, seolah-olah kita benar-benar dibawa secara langsung ke kota-kota lahirnya para musisi besar dunia tersebut. Eksekusi yang lagi-lagi berhasil. Hm, someday I’ll be there and know hot it feel to be Davina, Armitha, and Awang. Good luck for me, xoxo.

“You are my Fantasy in D minor, my ending from my search of happiness.” (hal. 308)
by.asysyifaahs(◕‿◕✿)

1 comment:

Review di a, Greedy Bibliophile adalah pendapat suka-suka yang sifatnya subjektif dari si empunya blog. Aku berusaha jujur, karena barang siapa jujur sesungguhnya dia masih hidup.

Aku nggak pernah memaksa kamu untuk setuju dengan pendapatku sendiri. Jangan sebel, jangan kesel, kecuali kamu mau itu menjadi beban besar yang berat ditanggung.

Boleh komentar, boleh curhat, boleh baper, tapi jangan promosi jualan obat atau agen judi bola. Tulis dengan bahasa manusia yang sopan dan mudah dimengerti ya.

Terima kasih sudah berkunjung, semoga ada cerita yang bermanfaat, jangan lupa kuenya boleh dibawa. Asal tulisan aku jangan dicomot seenak udelmu.

tertanda,

yang punya cerita

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
a book blog by @asysyifaahs