Mengapa selalu harus ada yang dikorbankan, atau berkorban, agar seseorang menyadari betapa berharga hal-hal yang mereka miliki...? (hal. 151)
“Makin lama kita makin tua, Yan. Makin merasa kesepian. Anak-anakmu akan dewasa dan suatu saat akan ninggalin kamu. Jadi, habiskan waktu sebanyak mungkin dengan mereka selagi bisa.” (hal. 91)
“... Kamu punya wibawa, ketegasan, kemampuan. Tapi, tanpa komunikasi, semua itu tidak ada artinya.” (hal. 85)
Orang-orang toh datang dan pergi, sering kali akibat kejenuhan atau mempunyai mimpi yang tidak bisa mereka capai hanya dengan duduk di kubikel setiap hari. (hal. 181)
Jangan selalu bergantung kepada orang lain. Manusia begitu rapuh. Tak selalu ada yang bersedia membantumu. (hal. 23)“Benar. Jangan remehkan kemungkinan, sekalipun perbandingannya satu berbanding seribu.” (hal. 103)Pintu hati manusia bagaikan piñata, yang begitu diketuk dan terbuka lebar-lebar, darinya muncul pernak-pernik manis layaknya permen beraneka rasa. (hal. 157)“Selama masih mempunyai kenangan, saya tidak akan kesepian,” (hal. 239)“Banyak orang yang merasa cukup memiliki kenangan. Menurut saya, itu bodoh. Kenangan cuma flesh and blood, nggak bisa diapa-apain. Manusia butuh berwujud lagi.” (hal. 239)
"Jangan selalu bergantung kepada orang lain. Manusia begitu rapuh. Tak selalu ada yang bersedia membantumu." Setuju sama yang satu ini :')
ReplyDelete^^
Deletesaya nangis baca buku ini, cmn belum sempet nulis reviewnya :D
ReplyDeleteApalagi karena Mbak udah jadi seorang ibu ya :D
Delete