Judul: The Fault In Our Stars
Penulis: John Green
Penerbit: Qanita (imprint Mizan)
Tebal: 422 halaman
Rating: ★★★★
---
Namanya Hazel Graze, seorang remaja
berusia 16 tahun yang mengidap penyakit tiroid dengan metastasis. Penyakit ini
membuat Hazel kesulitan bernafas dan selalu merasakan sakit pada paru-parunya
dan terkadang kekurangan oksigen. Itulah yang membuatnya harus selalu memakai dan
membawa alat bantu pernafasan berupa kanula dan tabung oksigen.
Hazel bertemu Augustus Waters pada pertemuan
mingguan Kelompok Pendukung, suatu pertemuan yang menghadirkan anak-anak
penderita kanker. Gus—begitu panggilannya—berusia 17 tahun dengan osteosarkoma.
Walaupun begitu, Gus tetap menjalani hidupnya dengan berpikir positif.
Ada juga Isaac, anak laki-laki berwajah
muram yang menderita kanker mata yang luar biasa langka. Isaac adalah teman
Hazel dan Gus, dalam pertemuan Kelompok Pendukung itu.
Pertemuan itu membawa mereka dalam
cerita yang mengharukan, tentang kisah-kisah bagaimana seorang pengidap kanker
harus dan dapat bertahan hidup. Hazel dan Gus semakin akrab, bahkan setelah
membaca buku Kemalangan Luar Biasa, Gus meyakinkan Hazel untuk ikut menemui
penulis bernama Peter van Houten itu. Tidak mudah mengiyakan keinginan yang satu
ini, karena Hazel dituntut memberi perhatian lebih pada penyakitnya. Namun, di
sisi lain ia juga penasaran, mengapa cerita dalam Kemalangan Luar Biasa
berakhir begitu saja, tidakkah Peter van Houten akan melanjutnya karyanya?
Kemalangan Luar Biasa menceritakan seorang gadis bernama Anna dan ibunya yang bermata satu, tukang kebun profesional yang terobsesi dengan tulip. Mereka memiliki kehidupan kelas menengah ke bawah yang normal di sebuah kota kecil di California tengah, sampai Anna menderita kanker darah langka.
***
Awesome. Semenjak tersiar kabar bahwa
banyak orang yang menyukai buku yang satu ini, aku tidak berpikir apa memang
sebegitunya ya? Katanya sih..., buku ini berkisar kisah fiksi tentang
orang-orang yang mengidap kanker. Menyedihkan, tapi juga mengharukan. Awalnya
nggak terlalu antusias, toh ini hanya kisah fiksi, rasanya masih kurang sreg
kalau bukan kisah nyata.
But to be honest, ini memang manis.
Cerita Hazel dan Gus seolah-olah nyata walau agak tidak mungkin ada orang yang
benar-benar seperti mereka—memandang kehidupan sebegitu mudahnya, bahkan tanpa
memikirkan beban dari vonisan kanker itu sendiri. Di lain kisah cinta antara
Hazel dan Gus, dan juga teman mereka—Isaac, keluarga dari keduanya pun terasa
hangat dan menjaga anak-anaknya dengan kasih sayang. Nggak overprotektif macam
orangtua dari anak pengidap kanker lainnya.
“Aku tidak akan membohongimu soal ini. Seandainya kau lebih merepotkan daripada bermanfaat, kami akan melemparkanmu begitu saja ke jalanan.” (hal. 141)
Cara John Green menulis ceritanya cukup
berhasil menurutku, kecuali kalau ada beberapa orang yang berekspetasi bahwa
buku ini menyedihkan sekali atau mengharapkan akhir yang bahagia sekali. Tidak,
buku ini tidak semudah yang dibayangkannya. Ada cerita sedih, bahagia, dengan
takaran yang pas dan tidak melebih-lebihkan.
Di lain hal, aku cukup kecewa dengan
penerjemahannya. Inilah yang jadi ketakutanku, menyesal membaca buku terjemahan
karena hasil terjemahan itu sendiri. Padahal, bisa jadi kan cerita versi
aslinya lebih menakjubkan, who knows? Ada banyak hal yang kurang aku pahami
dari buku ini, makanya membacanya pun sedikit bertele-tele karena hampir
menyerah dan bosan. Sayang sekali, buku sebagus ini tapi terjemahannya kurang
pas di hati.
Eh, selain itu, ada beberapa kutipan
yang aku suka dari buku ini (yah, walau kadang menemukan juga penerjemahan yang
nggak sinkron sama sekali).
“...Jika kau khawatir dilupakan selamanya oleh manusia, aku mendorongmu untuk mengabaikannya saja. Tuhan tahu, itulah yang dilakukan semua orang lainnya.” (hal. 23)“Semua orang begitu baik. Juga kuat. Di hari-hari terkelam, Tuhan meletakkan orang-orang terbaik dalam hidupmu.” (hal. 42)“Terkadang orang tidak memahami janji yang mereka ucapkan ketika mereka sedang mengucapkannya,” (hal. 86)“Kepedihan menuntut untuk dirasakan.” (hal. 89)“Aku selalu berpikir dunia adalah pabrik pewujud-keinginan.” (hal. 150)“Sadarlah bahwa berupaya menjaga jarak dariku tidak akan mengurangi kasih sayangku terhadapmu.” (hal. 167)“... Kau begitu sibuk menjadi dirimu sendiri, sehingga sama sekali tidak tahu betapa kau benar-benar tidak ada duanya.” (hal. 168)Aku selalu merasa terbangun dari nyeri, ketika sesuatu yang berada di dunia di luar diriku mendadak menuntut komentar atau perhatianku. (hal. 192)“Kita menua lebih lambat ketika bergerak lebih cepat, jika dibandingkan dengan ketika berdiri diam. Jadi, pada saat ini waktu berlalu lebih lambat bagi kita daripada bagi orang-orang di bumi.” (hal. 201)“... Ketakutan terhadap pelupaan abadi adalah sesuatu yang lain, ketakutan bahwa aku tidak akan bisa memberikan sesuatu pun sebagai pengganti hidupku.” (hal. 227)“Kau jahat sekali mengatakan bahwa satu-satunya kehidupan yang bermakna adalah jika kita hidup untuk sesuatu atau mati untuk sesuatu. Itu hal yang sangat jahat untuk dikatakan kepadaku.” (hal. 228)“Pasti kau tahu kalau hanya ada dua emosi, yaitu cinta dan ketakutan.” (hal. 254)
by.asysyifaahs(◕‿◕✿)
No comments:
Post a Comment
Review di a, Greedy Bibliophile adalah pendapat suka-suka yang sifatnya subjektif dari si empunya blog. Aku berusaha jujur, karena barang siapa jujur sesungguhnya dia masih hidup.
Aku nggak pernah memaksa kamu untuk setuju dengan pendapatku sendiri. Jangan sebel, jangan kesel, kecuali kamu mau itu menjadi beban besar yang berat ditanggung.
Boleh komentar, boleh curhat, boleh baper, tapi jangan promosi jualan obat atau agen judi bola. Tulis dengan bahasa manusia yang sopan dan mudah dimengerti ya.
Terima kasih sudah berkunjung, semoga ada cerita yang bermanfaat, jangan lupa kuenya boleh dibawa. Asal tulisan aku jangan dicomot seenak udelmu.
tertanda,
yang punya cerita