“Kamu harus ingat hidup adalah pertemuan dan perpisahan. Jika suatu saat kita berpisah akankah kamu mengatakan kalimat itu walau pada bayangan?” (hal. 74)
Judul: Stasiun
Penulis: Cynthia Febrina
Penerbit: PlotPoint
Penyunting: Gina S Noer, Ninus D Andarnuswari
Ilustrasi sampul: Diani Apsari
Pemeriksa aksara: Ridho Wijaya
Penata aksara: Kuswanto
Desain: Teguh Pandirian
Ilustrasi: Matahari Indonesia
Tebal: 170 halaman
Terbit: Mei 2013 (Cetakan Pertama)
Rating: ★★★
---
Adinda baru saja diputuskan Rangga yang kini telah menjadi mantan kekasihnya. Ia yang dulu akan selalu bersama Rangga tiba-tiba saja harus menghadapi kebiasaan baru dalam hal pulang-pergi dari dan ke kantor tempatnya bekerja. Dulu, Ranggalah yang senantiasa menjemput Adinda, setia dari Bogor menuju Jakarta. Namun, setelah kenyataan pahit itu, mau tidak mau Adinda harus terpaksa menaiki kereta api.
Ryan adalah seorang lelaki pekerja yang bertitel “anak kereta sejati”. Ada banyak hal yang berkaitan dengan stasiun yang sudah dikenalnya, tak luput pertemanan dengan orang-orang yang tak pernah absen menjadi penghuni di sekitar stasiun.
Cerita ini mengisahkan tentang perjalanan Adinda yang mulai harus terbiasa dengan stasiun. Dibanding dengan kereta ekonomi, ia rela membayar lebih mahal untuk kereta commuter line, padahal Sasha—sahabatnya—lebih berpikir realistis untuk memilih yang lebih murah meski harus berdesakan dengan banyak penumpang lainnya.
Kisah antara Adinda dan Ryan ini memiliki POV yang berlainan. Pada satu sisi Adinda, penulis menggunakan “aku”, sedangkan untuk Ryan menggunakan “saya” sebagai sudut pandang orang pertama. Ceritanya pun bergantian, sesekali si aku, sesekali si saya, hingga akhir cerita mulai masuk kepada pertemuan dua tokoh.
Hmm, aku belum bilang kalau cerita Adinda dan Ryan ini seperti berdiri sendiri? Iya, jadi di buku ini Adinda punya kisahnya sendiri, begitupula dengan Ryan. Adinda mulai memerhatikan lingkungan stasiun di sekitarnya, dan sama halnya dengan Ryan yang sudah berteman akrab dengan stasiun. Meski sulit dipahami, bagi aku sendiri konsep cerita seperti ini cukup menarik. Meskipun – seperti yang aku bilang di atas – pertemuan antara kedua tokoh utama kita baru terjadi mendekati akhir cerita.
Kisah cinta pasti ada, namun lebih banyak menyoroti kehidupan sosial khususnya bagi para pengguna kereta. Seperti yang kita tahu, jumlah pengguna alat transportasi umum ini cukup banyak namun tidak sebanding dengan jumlah armada kereta khususnya kelas ekonomi yang bisa dijangkau kalangan menengah ke bawah. Penulis seperti mengkritik sikap pemerintah yang belum juga mampu memperbaiki keadaan seperti ini.
Hal lain seperti kondisi hiruk-pikuk di stasiun juga ikut masuk ke dalam cerita, adanya pedagang asongan berbagai jualan, orang-orang yang senantiasa hilir-mudik, sampai hal-hal kecil yang menambah suasana nyata berada di stasiun. Eksekusi yang cukup sukses, khususnya buat aku yang belum pernah naik kereta sekali pun *ajakin dong!*
Banyak penilaian di Goodreads yang bisa dibilang kecewa dengan konsep yang ditulis penulis muda PlotPoint ini, tapi sayangnya aku malah suka. Kadang selera aku sering kali bertolak belakang dengan banyak orang, yah... nggak papa sih, semoga ke depannya Kak Cythia bisa lebih mahir lagi dalam mengembangkan cerita. Btw, cover PlotPoint selalu jadi favorit!
Judul: Stasiun
Penulis: Cynthia Febrina
Penerbit: PlotPoint
Penyunting: Gina S Noer, Ninus D Andarnuswari
Ilustrasi sampul: Diani Apsari
Pemeriksa aksara: Ridho Wijaya
Penata aksara: Kuswanto
Desain: Teguh Pandirian
Ilustrasi: Matahari Indonesia
Tebal: 170 halaman
Terbit: Mei 2013 (Cetakan Pertama)
Rating: ★★★
---
Adinda baru saja diputuskan Rangga yang kini telah menjadi mantan kekasihnya. Ia yang dulu akan selalu bersama Rangga tiba-tiba saja harus menghadapi kebiasaan baru dalam hal pulang-pergi dari dan ke kantor tempatnya bekerja. Dulu, Ranggalah yang senantiasa menjemput Adinda, setia dari Bogor menuju Jakarta. Namun, setelah kenyataan pahit itu, mau tidak mau Adinda harus terpaksa menaiki kereta api.
Ryan adalah seorang lelaki pekerja yang bertitel “anak kereta sejati”. Ada banyak hal yang berkaitan dengan stasiun yang sudah dikenalnya, tak luput pertemanan dengan orang-orang yang tak pernah absen menjadi penghuni di sekitar stasiun.
“Semakin disembunyikan, perasaan jatuh cinta itu semakin terlihat.” — “Oooh, saat jatuh cinta semua hal yang nggak mungkin jadi mungkin, yang nggak nyambung jadi nyambung.” (hal. 112)
Cerita ini mengisahkan tentang perjalanan Adinda yang mulai harus terbiasa dengan stasiun. Dibanding dengan kereta ekonomi, ia rela membayar lebih mahal untuk kereta commuter line, padahal Sasha—sahabatnya—lebih berpikir realistis untuk memilih yang lebih murah meski harus berdesakan dengan banyak penumpang lainnya.
“Jangan salahkan keadaan terus, Din, lo harus ikhlas terima kenyataan.” (hal. 37)
“Salah satu cara terbaik untuk melepaskan kenangan adalah dengan memaafkannya, Dinda.” (hal. 49)
Kisah antara Adinda dan Ryan ini memiliki POV yang berlainan. Pada satu sisi Adinda, penulis menggunakan “aku”, sedangkan untuk Ryan menggunakan “saya” sebagai sudut pandang orang pertama. Ceritanya pun bergantian, sesekali si aku, sesekali si saya, hingga akhir cerita mulai masuk kepada pertemuan dua tokoh.
Hmm, aku belum bilang kalau cerita Adinda dan Ryan ini seperti berdiri sendiri? Iya, jadi di buku ini Adinda punya kisahnya sendiri, begitupula dengan Ryan. Adinda mulai memerhatikan lingkungan stasiun di sekitarnya, dan sama halnya dengan Ryan yang sudah berteman akrab dengan stasiun. Meski sulit dipahami, bagi aku sendiri konsep cerita seperti ini cukup menarik. Meskipun – seperti yang aku bilang di atas – pertemuan antara kedua tokoh utama kita baru terjadi mendekati akhir cerita.
“Membuat orang lain cemas itu bukan perbuatan baik, Nak.” — “Membuat orang lain berharap juga tidak baik, Pak.” (hal. 28)
Kisah cinta pasti ada, namun lebih banyak menyoroti kehidupan sosial khususnya bagi para pengguna kereta. Seperti yang kita tahu, jumlah pengguna alat transportasi umum ini cukup banyak namun tidak sebanding dengan jumlah armada kereta khususnya kelas ekonomi yang bisa dijangkau kalangan menengah ke bawah. Penulis seperti mengkritik sikap pemerintah yang belum juga mampu memperbaiki keadaan seperti ini.
Hal lain seperti kondisi hiruk-pikuk di stasiun juga ikut masuk ke dalam cerita, adanya pedagang asongan berbagai jualan, orang-orang yang senantiasa hilir-mudik, sampai hal-hal kecil yang menambah suasana nyata berada di stasiun. Eksekusi yang cukup sukses, khususnya buat aku yang belum pernah naik kereta sekali pun *ajakin dong!*
“Terkadang lebih baik menyalahkan orang lain ketimbang menerima diri kita sendiri yang menjadi penyebab setiap kesedihan.” (hal. 45)
Banyak penilaian di Goodreads yang bisa dibilang kecewa dengan konsep yang ditulis penulis muda PlotPoint ini, tapi sayangnya aku malah suka. Kadang selera aku sering kali bertolak belakang dengan banyak orang, yah... nggak papa sih, semoga ke depannya Kak Cythia bisa lebih mahir lagi dalam mengembangkan cerita. Btw, cover PlotPoint selalu jadi favorit!
“Love is just another dimension where people have one frequency.” — Cinta membuatmu terdiskoneksi dari dunia luar walau hanya sesaat saja. (hal. 153)
by.asysyifaahs(◕‿◕✿)
No comments:
Post a Comment
Review di a, Greedy Bibliophile adalah pendapat suka-suka yang sifatnya subjektif dari si empunya blog. Aku berusaha jujur, karena barang siapa jujur sesungguhnya dia masih hidup.
Aku nggak pernah memaksa kamu untuk setuju dengan pendapatku sendiri. Jangan sebel, jangan kesel, kecuali kamu mau itu menjadi beban besar yang berat ditanggung.
Boleh komentar, boleh curhat, boleh baper, tapi jangan promosi jualan obat atau agen judi bola. Tulis dengan bahasa manusia yang sopan dan mudah dimengerti ya.
Terima kasih sudah berkunjung, semoga ada cerita yang bermanfaat, jangan lupa kuenya boleh dibawa. Asal tulisan aku jangan dicomot seenak udelmu.
tertanda,
yang punya cerita