Judul: Our Happy Time (Cinta tak pernah salah memilih waktu) 우리들의 행복한 시간
Penulis: Gong Ji-young
Penerjemah: Pradita Nurmaya
Tebal: 376 halaman
Penyunting: Nunung Wiyati
Perancang sampul: RAI Studio
Pemeriksa aksara: Nunung & Gilang
Penata aksara: gores_pena
Rating: ★★★★
Harga: Rp59.000,-
---
Bagi Mun Yu Jeong, hidup tidaklah lagi bermakna setelah kejadian menyedihkan itu. Ibunya juga sudah tidak menyayanginya lagi, dan kakak-kakaknya sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Namun, percobaan bunuh diri sebanyak tiga kali itu tetap saja berakhir sia-sia, sekeras apapun ia berusaha bunuh diri semuanya gagal.
Apakah ada ketidakbahagiaan tanpa alasan? Apakah ada kesedihan tanpa beban? Hal yang menyedihkan, saat kasih sayang berubah menjadi sebuah pengkhianatan. (hal. 30)
Maka, daripada terus-menerus mendapat pertolongan nasihat psikologis dari Pamannya yang juga seorang dokter, ia lebih memilih mengikuti Bibi Monika—yang katanya punya sifat mirip dengannya—untuk mencoba ‘memanfaatkan’ hidup yang dimilikinya.
Bibi Monika adalah seorang Suster yang taat pada agamanya, ia terlalu baik bagi semua orang, bahkan untuk terpidana mati sekalipun seperti Jeong Yun Su. Yun Su adalah terpidana mati di Rumah Tahanan Seoul, hal itu disebabkan karena ia telah melakukan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap seorang gadis miskin. Lebih dari itu, Yun Su punya masa lalu yang kelam, banyak kejadian kriminal yang membuatnya sering masuk-keluar penjara.
"Ya, begitulah... Saat kau menjadi orang jahat, maka pikiranmu pun dipenuhi kejahatan." (hal. 175)
Yang membuat Yun Su melakukan semua tindak kriminal itu adalah karena dampak yang diberikan oleh kedua orangtuanya. Satu-satunya alasan yang membuatnya tetap bertahan hidup adalah karena adiknya, Eun Su dan mimpi adiknya yang belum tercapai—mendengarkan lagu Aegukka dari seorang wanita berparas cantik.
Terkadang, kesedihan bagi kita bisa menjadi kunci untuk membuka pintu hati orang lain yang terkunci rapat. (hal. 75)
Meski hanya bertemu pada hari Kamis, baik Yu Jeong dan Yun Su tak pernah merasa canggung untuk bercerita masa lalunya yang sama-sama kelam. Ketakutan terhadap hukuman mati seakan menghilang walau hari itu bisa datang kapan saja menemui Yun Su. Mereka berdua dipertemukan, tepat di pengujung hidup. Dua orang yang terluka, dan mampukah mereka saling menyembuhkan?
"Akan kuberikan petunjuk. Ada dua macam orang. Yang pertama orang yang mengakui bahwa dirinya melakukan kesalahan (dosa), yang kedua adalah orang yang selalu berpikir kalau hidupnya baik-baik saja, tanpa kesalahan..." (hal. 135)
Awalnya sedikit susah untuk menamatkan buku ini, bagian awal sedikit banyak bercerita seputar kehidupan agama Katolik. Meski ini hanya sekadar fiksi, kadang aku merasa sedikit risi jika di dalamnya terkandung nilai-nilai keyakinan tertentu. Bukan masalah kegoyahan iman, namun ada rasa canggung untuk terus melanjutkan bacaan ini.
Dan aku melanjutkannya, mengabaikan bagian soal kepercayaan atau semacam itu, please read carefully the story. Kalau kamu mengharapkan sisi romantis dari buku ini, maka jangan membacanya. Kamu akan dikecewakan dengan sisi lain dari sebuah cerita K-lit yang berakhir mengesankan ini. Meski sad ending, Gong Ji Young dengan apik menceritakan tulisannya seolah-olah nyata.
Jika sudah berbicara tentang kematian, hal apa yang tak bisa berubah? Apa yang masih bisa digenggam saat menghadapi kematian? Apalagi jika itu sebuah kebencian. (hal. 138)
Yang kusuka dari buku ini adalah bagian Catatan Biru, berisi 19 catatan yang ditulis si ‘aku’ tentang perjalanan kelam hidupnya di masa lalu. Catatan yang tidak saja menjadi petunjuk, tapi juga menjadi penutup yang manis untuk kehidupan seorang tokoh.
Isinya sedikit gelap, dan cukup mengaduk-aduk emosi dan perasaanku. Bayangkan saja, dua orang yang sama-sama terluka kadangkala bisa saling klop bercerita bahkan jika diawali dengan ketidaksukaan satu sama lain.
"Tunggulah dalam diam. Menantilah tanpa berharap karena harapan itu akan menjadi harapan yang salah. Menunggulah tanpa cinta karena cinta itu juga akan menjadi cinta yang salah." -T.S. Elliot (hal. 122)
Semua itu juga berkat terjemahan yang pas dari translator-nya, ya walau kadang merasa aneh dengan kata 'Kakak' dan 'Oppa'. Sebenarnya, kakak yang dimaksud siapa sih? Kakak kandung yang diajak bicara, atau kakak lain? Hmm, tapi walau awalnya agak suram, ending yang baik cukup bagiku memberi empat bintang.
"Ada satu hal yang lebih keji dari ketidakpedulian. Yaitu kau yang tidak menyadari ketidakpedulianmu." - Charles Fred Alford (hal. 14)
Kehidupan tak akan berjalan tanpa landasan belas kasih yang tulus. Belas kasihan tak akan ada tanpa pengertian. Pengertian tak akan ada tanpa kepedulian. Dan, kepedulian adalah cinta. (hal. 298)
"Menjadi orang baik, bukan suatu hal yang bodoh. Perasaan kesepian. Bukan karena lemah. Menangis karena orang lain, merasa sedih saat menyadari kesalahannya. Itu adalah sesuatu yang indah. Meskipun sudah memberikan semua perasaan, tapi tetap disakiti... Itu bukan hal yang memalukan. Orang yang benar-benar tulus, sering mendapatkan luka. Tapi, mereka selalu punya cara terbaik untuk mengobati luka itu." (hal. 189)
maaf..
ReplyDeletemau tanya dong, klau mau bli novel ini dimna y?
terima kasih ..:)
Kakak bisa cari di toko buku online :)
Delete