Hidup telah menunjukkan dengan caranya sendiri bahwa aku
senantiasa dipandu. (hal. 99)
Judul: Madre
Penulis: Dee
Penerbit: Bentang Pustaka
Tebal: 160 halaman
ISBN: 978-602-8811-49-1
Harga:Rp. 47.000,-
“Apa rasanya jika sejarah kita berubah dalam sehari?
Darah saya mendadak seperempat Tionghoa,
Nenek saya seorang penjual roti, dan dia,
Bersama kakek yang tidak saya kenal,
Mewariskan anggota keluarga baru yang tidak pernah saya tahu: Madre.”
Terdiri dari 13 prosa dan karya fiksi, Madre merupakan kumpulan karya Dee selama lima tahun terakhir. Untaian kisah apik ini menyuguhkan berbagai tema: perjuangan sebuah toko roti kuno, dialog antara ibu dan janinnya, dilema antara cinta dan persahabatan, sampai tema seperti reinkarnasi dan kemerdekaan sejati.
Lewat sentilan dan sentuhan khas seorang Dee, Madre merupakan etalase bagi kematangannya sebagai salah satu penulis perempuan terbaik di Indonesia.
Tahukah kamu arti Madre? Kata ‘Madre’ berasal dari bahasa
Spanyol, yang berarti ’ibu’. Buku ini terdiri dari 13 kumpulan cerita, cerita
fiksi dan prosa pendek. Ada yang menceritakan tentang ragi roti, rahim ibu,
mercusuar, layang-layang, semak bambu, dan lainnya.
Cerita dibuka dengan judul Madre. Adalah Tansen Roy Wuisan,
seorang pemuda berambut gimbal dan berkulit gelap yang memiliki sedikit darah
Tionghoa dan India. Ia tidak mengetahui asal-usul keluarganya sampai seseorang
yang tak dikenalnya menjadikannya ahli waris.
Madre adalah sebutan untuk adonan biang roti yang terbuat
dari tepung, air, dan fungi bernama Saccharomyces
exiguus serta bakteri. Madre diwariskan Tan Sin Gie—kakek Tansen—bersama
Lakshmi yang merupakan pembuat roti terkenal pada masanya. Mereka membuka usaha
roti dengan nama ‘Tan de Bakker’ yang berdiri tahun 1941 di Jakarta Kota.
Sayangnya, toko roti Tan de Bakker mulai tenggelam seiring bermunculan bakery-bakery yang lebih modern.
“...Madre mesti dirawat orang muda yang semangatnya baru. Orang ndak sembarangan, yang memang punya hubungan langsung sama Madre,” (hal. 7)
Awalnya, Tansen enggan untuk mengurusan warisan
setoples-adonan-biang-roti tersebut, bahkan memutuskan untuk menjual resep
Madre kepada Mei Tanuwidjaja, seorang pengusaha dari Fairy Bread yang juga
pembaca setia blog Tansen. Namun, ia tidak bisa melakukannya, baginya ada hal
yang lebih penting dari itu.
“Karena sebetulnya ndak ada yang sanggup menjual ibunya sendiri.” (hal. 38)
Cerita kedua ada prosa dengan judul Rimba Amniotik, menceritakan tentang ‘komunikasi dalam diam’ antara
seorang ibu dengan janinnya. Ada juga Perempuan dan Rahasia, Ingatan tentang
Kalian, Have You Ever? yang bercerita tentang pencarian jodoh seorang laki-laki
berdasarkan tanda-tanda alam, Semangkuk Acar untuk Cinta dan Tuhan tentang
apakah itu cinta? Apakah itu Tuhan?, Wajah Telaga, Tanyaku Pada Bambu, 33,
evolusi drastis yang dapat terjadi dalam diri seorang manusia berjudul Guruji,
dan jiwa bebas seorang perempuan yang pada akhirnya akan mendarat di tanah lama
berjudul Menunggu Layang-Layang, serta ditutup dengan prosa Barangkali Cinta.
“Saya iri. Kamu punya kebebasan yang saya nggak punya. Tapi saya juga bersyukur punya sesuatu yang bisa saya teruskan.” ... “Satu-satunya yang ingin saya teruskan adalah kebebasan saya.” (hal. 49)
***
Aku membaca Madre untuk waktu yang cukup singkat, hanya 2,5
jam dengan diselingi mengerjakan tugas mata pelajaran Sosiologi. Buku dengan
tebal 160 halaman ini adalah kumpulan cerita pertama Dee Lestari yang aku baca,
doakan saja secepatnya bisa membaca Filosofi Kopi hasil pinjaman dari kakaknya
Hilda :D
“... How would I know the answer? You don’t even know your own question!” ... Dia benar. Pertanyaanku tak pernah selesai karena sebenarnya aku memang tidak tahu apa yang mau kutanya. Dan aku tidak akan pernah tahu apa yang kucari selama aku terus disini. (hal. 93)
Dari ketigabelas cerita yang ditulis Kak Dee di tahun
2006-2011 ini, aku lebih suka dengan Madre. Yap, cerita pertama yang menjadi
judul buku. Berbeda dengan cerita lainnya, Madre lebih panjang—72
halaman—terlebih, aku suka cara Kak Dee memaparkan cerita untuk Madre yang satu
ini. Benar-benar tidak terduga kalau ternyata Madre adalah (hanya) adonan biang
roti.
“Sehat itu bukan cuma urusan badan. Dalem sini lebih penting,” ia menunjuk dadanya. (hal. 46)
Walaupun memang, agak sedikit ‘terusik’ dengan kalimat di
cerita Semangkuk Acar untuk Cinta dan Tuhan, tapi sepertinya ini tidak adil
kalau aku menyatakan tidak suka dengan Madre. “Inilah cinta. Inilah Tuhan.
Tangan kita bau menyengat, mata kita perih seperti disengat, dan tetap kita
tidak menggenggam apa-apa.” ... “Itulah cinta. Itulah Tuhan. Pengalaman, bukan
penjelasan. Perjalanan, bukan tujuan. Pertanyaan, yang sungguh tidak berjodoh
dengan segala jawaban.” (hal. 103)
Hmm... Nggak banyak yang bisa aku ceritakan, karena untuk
kali ini, aku benar-benar menikmati bacaan tanpa harus terburu-buru membuat
review-nya. Tapi entah kenapa, aku bisa membaca dan menulis review di hari yang
sama. Ajaib kah? ★★★ untuk buku ini, di luar pradugaku tentang kesalahan
penulisan, nyatanya memang disengaja mengikuti tokoh, hehe.
Menulis di blog seminggu sekali adalah satu-satunya rutinitas yang kupelihara sejak dua tahun terakhir. Setengah mati aku bertahan. Belum pernah aku setia melakukan satu hal dalam jangka waktu sepanjang itu. Jika serabutan adalah penyakit, maka blog ini adalah obatku.Sebagai penyempurna terapiku, blog ini punya sekelompok pembaca setia yang rutin berkunjung dan berkomentar. Orang-orang yang sebagian besar tidak kukenali langsung. Orang-orang yang kukenali hanya lewat tulisan serta kotak kecil berisi foto profil dan biodata seadanya. Namun mereka jadi saksi hidupku selama dua tahun terakhir. (hal. 17)“Mungkin karena memang nggak ada yang kebetulan,...” (hal. 68)“...pernah nggak kamu terhubungkan sebegitu aneh dengan seseorang, sampai-sampai hidupmu jadi kayak mimpi?” (hal. 84)“I’ve alway believed in past life and karmic bonding,” ... “I get it! All that dark and light thingy. It’s like... the Sun!” ... “Matahari sebenarnya nggak pernah terbit dan terbenam. Cuma Bumi yang berputar!” (hal. 88)