[Book Review] Ai by Winna Efendi

Tuesday, April 15, 2014

Jatuh cinta untuk pertama kalinya sangat aneh, perasaan yang kuat, semacam energi yang mampu memberikan kita keberanian untuk berbuat apa saja. (hal. 216)

Judul: Ai
Penulis: Winna Efendi
Penerbit: GagasMedia, 2013 (Cetakan ke-9)
Tebal: 288 hlm ISBN:979-780-307-4
Harga: Rp41.500,-

Blurb...
Cinta seperti sesuatu yang mengendap-endap di belakangmu. Suatu saat, tiba-tiba kau baru sadar, cinta menyergapmu tanpa peringatan.
SEI
Aku mencintai Ai. Tidak tahu sejak kapan mungkin sejak pertama kali dia menggenggam tanganku aku tidak tahu mengapa, dan aku tidak tahu bagaimana. Aku hanya mencintainya, dengan caraku sendiri.
AI
Aku bersahabat dengan Sei sejak kami masih sangat kecil. Saat mulai tumbuh remaja, gadis-gadis mulai mengejarnya. Entah bagaimana aku pun jatuh cinta padanya, tetapi aku memilih untuk menyimpannya. Lalu, datang Shin ke dalam lingkaran persahabatan kami. Dia membuatku jatuh cinta dan merasa dicintai.
 
Thoughts...
Baca Ai ini sebenarnya sudah sejak lama, sekitar satu bulan yang lalu kalau nggak salah. Maafkan, soalnya pas selesai baca nggak langsung bikin resensi, bukunya malah disembunyikan Mamah xD Ini kedua kalinya baca buku Winna Efendi, yang Refrain udah aku buat resensinya belum ya? :/ Aku dapat bukunya dari Gita, sebagai ganti hadiah presentasi itu, covernya lebih unyu dari cetakan sebelumnya, warna pink menggelora.

Ada dua sudut pandang yang ditulis dalam buku ini, Sei dan Ai. Awalnya, ragu untuk bisa memposisikan diri membaca dari sudut pandang Sei di awal cerita, karena terlalu biasa membaca dari segi seorang perempuan. Tapi... ternyata asyik juga, setidaknya begitu, bisa memahami perasaan seorang laki-laki ketika menghadapi perempuan. Akhirnya aku tau!

“Menangislah sampai puas. Aku akan meminjamkan bahuku hingga kau merasa lega.” (hal. 180)

Diawali dari cerita Sei dan Ai yang mengenal satu sama lain sejak kecil, sepasang sahabat yang dipertemukan karena nasib. Apalagi, saat membaca bagian ketika hamster Sei mati, lucu sekali ketika membayangkan dua orang anak kecil memperhatikan binatang sebesar tikus itu, lalu menguburkannya. Hohoh... Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Selalu ada sesuatu yang hilang dari kehidupan kami... (hal. 202)
Banyak orang menganggap mereka seperti kakak-adik. Namun, di balik perbedaan umur mereka yang hanya terpaut satu tahun, lucu sekaligus absurd juga kalau menjadikan Ai sebagai kakak perempuan dan Sei sebagai adik laki-laki. Tidak semudah itu merumuskan hubungan mereka. Walaupun Ai terkadang berlagak dewasa dan bertindak seperti kakak yang menyuruh-nyuruh adiknya, banyak kejadian saat Sei yang berlaku sebagai kakak, menyayangi dan melindunginya. Mungkin itu karena Sei laki-laki dan Ai perempuan. Ai yang ceroboh, Ai yang kadang menangis jika terjatuh, Ai yang selalu lupa mengerjakan pekerjaan rumahnya. Ai yang memberontak dan dimarahi ayahnya, Ai yang jatuh cinta pada pemuda sekelasnya, lalu patah hati. Di saat-saat seperti itulah, Ai membutuhkan Sei, dan Sei perlu menjaganya layaknya seorang kakak, sekaligus seorang teman. Orangtua mereka menganggap mereka berdua memiliki hubungan kompleks yang unik. Bahkan, Sei tidak sedekat itu pada kakak perempuannya, Risa, yang tiga tahun lebih tua darinya. Sei sendiri tidak tahu bagaimana menjelaskan hubungan mereka. Sei membutuhkan Ai, sama seperti Ai membutuhkannya. Mereka tidak terpisahkan dan Sei kira mereka akan selamanya begini.
Setiap orang yang pernah hadir dalam hidup kita akan selalu meninggalkan jejak. (hal. 202) “Suatu saat nanti, kau pasti akan jatuh cinta pada seseorang. Dan, ketika saat itu tiba, jika laki-laki itu melukaimu, aku akan menghajarnya.” (hal. 220)

Ai dan Sei bersahabat, dan selalu melakukan banyak hal secara bersama-sama, dan... datanglah Shin dari Tokyo yang menambah serunya jalan cerita. Ada banyak hal tentang Shin yang selalu membuat Ai dan Sei tertarik, cerita Shin mengenai kebiasaan orang-orang di Tokyo, gedung-gedung pencakar langit, shinkansen yang selalu padat, hingga hal-hal yang dapat membuat keduanya terkejut, robot Aibo, laptop Shin, dan cerita mengenai Ouija Board. Pernah mendengarnya? Aku juga pertama kali tahu dari buku ini :D

http://www.gadis.co.id/gaul/ngobrol/jangan.mainmain.dengan.ouija.board/001/007/285

Nuansa Jepang-nya kerasa banget, ada pengetahuan juga yang bisa kita ambil, tentang teru-terubozu si boneka kain untuk menangkal hujan, Hanami, Yozakura, dan lainnya. Nggak heran juga sih kalau cetakannya udah sampai yang kesembilan (versi yang aku baca). #HACEP Lebih dari itu, silahkan baca sendiri, nggak nyesel juga sih, karena ★★★★ untuk buku ini.  

Well, ada banyak kutipan menarik yang bisa diabadikan, beberapa diantaranya:
1. Masing-masing orang memiliki cara yang berbeda dalam menyiasati kehilangan. Kehilangan karena patah hati masih lebih baik daripada kehilangan orang yang disayangi akibat kematian, menurutku, karena pada kasus yang kedua kita tidak mampu melihat orang itu lagi. Seberapa ingin pun kita ingin menggapai dan mendengar suara mereka lagi, hal itu tidak akan pernah terjadi. Orang-orang yang ditinggalkan juga lebih menyedihkan, karena mereka tidak bisa berbuat apa-apa. (hal. 157)
2. Aku menyesal menjadi seorang pengecut yang melarikan diri, yang tidak bisa mengakui perasaannya sendiri, lalu melukai orang lain yang mencintainya dengan tulus. (hal. 163)
3. “Menurutku pemandangan langit dan laut di pagi hari adalah yang paling indah. Para nelayan berangkat untuk melaut, embun pagi menetes melalui sudut-sudut daun, dan langit perlahan-lahan berubah cerah, seakan menyimbolkan harapan baru.” (hal. 184)
4. Tapi, kami sama-sama tahu, manusia yang telah ditinggalkan dan kehilangan tidak akan pernah merasa sama lagi. (hal. 208)
5. “Kehilangan memiliki cara tersendiri untuk mengubah orang-orang yang mengalaminya, tapi melarikan diri tidak pernah menyelesaikan apa-apa.” (hal. 252)
6. “... Tapi, sesulit apa pun, hidup harus terus berjalan. Hidup tidak punya waktu untuk menunggu orang-orang yang tidak siap melanjutkan sisa kehidupannya.” (hal. 253)
7. “Cinta seperti sesuatu yang mengendap-endap di belakangmu. Suatu saat, tiba-tiba, kau baru sadar cinta menyergapmu tanpa peringatan.” (hal. 104)
8. “Masa-masa sulit selalu membuat kita ingin menyerah. Tapi, kau hanya perlu percaya bahwa segalanya akan baik-baik saja.” (hal. 144)
9. “... Aku harus melindungi apa yang kupunya sekarang. Apa yang tersisa, apa yang berharga –aku tidak bisa mengabaikannya, dan aku harus bangkit menjaganya.” (hal. 153)

Dan terakhir, mengingat salah satu kalimat di halaman 117 ini, “Aku hanya mencintainya, dengan caraku sendiri.” rasanya kembali terkenang dengan puisi yang pernah dibuatkan seseorang;
Aku mencintaimu tak peduli betapa cepat waktu mengejarku
Aku mencintaimu seperti edelweis yang rela jiwa-jiwanya pergi hanya karena tidak ada cara lain untuk mencintaimu
Aku mencintaimu… bahkan hingga kelopak mataku tertutup selamanya, rasa ini akan tetap bersinar di ujung jagat raya

No comments:

Post a Comment

Review di a, Greedy Bibliophile adalah pendapat suka-suka yang sifatnya subjektif dari si empunya blog. Aku berusaha jujur, karena barang siapa jujur sesungguhnya dia masih hidup.

Aku nggak pernah memaksa kamu untuk setuju dengan pendapatku sendiri. Jangan sebel, jangan kesel, kecuali kamu mau itu menjadi beban besar yang berat ditanggung.

Boleh komentar, boleh curhat, boleh baper, tapi jangan promosi jualan obat atau agen judi bola. Tulis dengan bahasa manusia yang sopan dan mudah dimengerti ya.

Terima kasih sudah berkunjung, semoga ada cerita yang bermanfaat, jangan lupa kuenya boleh dibawa. Asal tulisan aku jangan dicomot seenak udelmu.

tertanda,

yang punya cerita

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
a book blog by @asysyifaahs